Review Atas Artikel Musliki, Ilmu-Ilmu Keislaman dengan Ilmu Sosial[1] Oleh Rokhmat Subagiyo[2]
Review Atas Artikel Musliki,
Ilmu-Ilmu Keislaman dengan Ilmu Sosial[1]
Oleh Rokhmat Subagiyo[2]
Kegelisahan penulis mengenai keterpisahan antara disiplin ilmu agama (islam) dengan ilmu-ilmu sosial mengawali artikel ini. Dilakukan upaya untuk menjebatani agar terintegrasi kedua disiplin ilmu ini melalui pendidikan. Jika terlepas sendiri-sendiri baik antara ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu agama akan berdampak negative yang merugikan manusia itu sendiri. Secara empiris seharusnya output dari ilmu pengetahuan berupa teknologi bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Untuk meraih target tersebut, perlu dilakukan usaha untuk membuat integrasi antara kedua disiplin ilmu tersebut. Dengan demikian ilmu-ilmu sosial atau umum tidak nilai atau benar-benar lepas dari pengaruh ilmu agama, supaya terwujud memakai pendekatan interdisiplner atau interkoneksitas yang berkelanjutan,sampai keselarasan antara ilmu-ilmu sosial dan keislaman terjadi.
Dia beralasan yang menyebabkan kemunduran ilmu agama dibandingkan dengan ilmu-ilmu umum di negeri tercinta ialah adanya pembedaan pengelolaan atau manajemen pendidikan pada kedua disiplin ilmu. Ilmu agama ditangani kementerian agama dan ilmu-ilmu umum di bawah kementerian pendidikan nasional. Kondisi ini tidak sejalan dengan pada awal sejarah umat Islam, karena pada masa itu puncak kejayaan peradaban kaum muslimin. Menurut Amin Abdullah yang mengutip pendapat Al-Jabiry, saat kerangka bangunan ilmu umum tidak menyatu dan bersentuhan ilmu Islam adalah kecelakaan sejarah pada kaum muslimin. Kejadian ini tidak selaras dengan sejarah peradaban Islam masa klasik, dimana para cendikiawan muslim juga mahir ilmu umum. Semisal Ibn Sina yang ahli kedokteran dan juga filsafat, Ibn Haitam jago dibidang ilmu fisika, Abu Abbas Hatim an-Nizari yang pakar dibidang astronomi dan masih banyak lagi lainnya.
Pasca periode keemasan, ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, penemuan-penemuan para ilmuwan islam minim sekali. Situasi ini bertolak belakang dengan dunia Barat yang mengalami kemajuan yang begitu pesat. Puncaknya adalah renaissance , yakni usaha Barat untuk mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan. Inilah pemantik awal adanya pemisahan antara ilmu-ilmu umum dari ilmu-ilmu agama. Apabila umat islam permisif, maka akan berimbas negatif, seperti penggunaan nuklir untuk senjata pemusnah masal. Uraian di atas, Musliki menawarkan rekonstruksi ilmu pengetahuan dengan ilmu agama, yang bertujuan hilangnya dikotomi antara ilmu umum dan agama.
Tulisan Musliki ini masih kurang konsisten dan terkesan ragu, karena judul ditulis ilmu-ilmu sosial, dipembahasan ilmu-ilmu alam, bahkan ditulis juga dengan ilmu umum. seharusnya setelah memberikan usulan rekonstruksi antara ilmu umum dan agama, dalam point selanjutnya, ia tidak kembali memaparkan kondisi umat Islam yang mengalami kemunduran. Namun langsung fokus upaya yang kedua, yakni penyelarasan ilmu pengetahuan keislaman dengan Ilmu sosial. Dalam pembahasannya penulis tidak menawarkan konsep konektivitas seperti apa? Ini yang menyebabkan sulitanya untuk mengoperasionalnya, karena ada banyaknya istilah yang tidak aplikatif. Dia hanya menawarkan konsep ‘kembali ilmu tauhid” untuk semua disiplin ilmu-ilmu umum yang ada.
Berikut usaha pertama yang dilakukan oleh ilmuwan muslim antara lain mencoba melakukan “islamisasi ilmu pengetahuan”. Meskipun terjadi perdebatan di dalam internal ilmuwan muslim itu sendiri. Mereka gamang dengan istilah itu. Apakah tetap memakai sains dunia Barat dengan diberi label “islam” atau “islami”? atau melakukan transformasi ilmu-ilmu sains ke dalam ilmu agama, dengan menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber rujukan primer? Kedua cara tersebut mengalami kesulitan apabila tidak berawal dasar epistomologis. Perlu diapresiasi bahwa tema sentral pada abad XV H adalah “islamisasi ilmu”.
Ikhtiar selain yang telah disampaikan, antara lain ilmuisasi Islam, yakni membuat rumusan teori pada ilmu pengetahuan berdasarkan kepada al-qur’an. Hal ini berarti menjadikan Islam sebagai suatu ilmu yang objektif (rahmatan lil ‘lamin). Kelompok ini didukung oleh Kuntowijoyo, M Natsir Mahmud dan Azyumardi Azra. Upaya ini bukan tanpa halangan, menurut Amin Abdullah, yang menjadi kesulitan yaitu memadukan studi Islam dan ilmu-ilmu umum, maka diperlukan pendekatan interkoneksitas. Tiap bangunan keilmuan, baik ilmu agama dengan ilmu sosial merupakan satu kesatuan yang bersifat holistik dan saling terkait. Pendekatan ini tidak saling melumatkan antar ilmu agama dan umum. Bisa diambil contoh, proses objektivikasi ilmu Islam pada bidang ekonomi syariah yang praktek dan teori bersumber dari wahyu Tuhan. Dalam berprilaku ekonomi, Islam memberikan etika, seperti bagi hasil untuk al-mudharabah dan kerjasama (musyarakah).
Bagian penutup tulisan ini cukup baik, penulis memberikan poin solusi antara lain upaya melakukan integrasi ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum seharusnya menjadikan perspektif ontologis, yakni ilmu pada dasarnya berasal dari hasil studi mendalam, sistematis, objektif dan menyeluruh mengenai ayat-ayat Allah. Kedua perspektif Epistomologis, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi didapatkan dari usaha yang serius melalui indra pengliatan, pendengaran dan hati. Terakhir perspektif aksiologi, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan untuk kemaslahatan atau kemanfaatan bagi umat manusia.
Wallahu’alam bis showwab.
[1]Tulisan ini adalah Karya Musliki dalam buku Integrated Twin Tower: Arah Pengembangan Islamic Studies Multidisipliner.
[2] Artikel ini ditulis oleh Rokhmat Subagiyo, NIM: F53318020 mahasiswa Program Doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya Program Studi Ekonomi Syariah dan artikel ini merupakan tugas Mata Kuliah: Metodologi Studi Islam dengan Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Nur Syams, M. Si.
Komentar
Posting Komentar