Review Buku “Metode Logika Ilmu Sosial” terjemahan dari “The Logic Of Science In Sociology”
Review Buku “Metode Logika Ilmu Sosial” terjemahan dari
Oleh Rokhmat Subagiyo, MEI[2]
Buku karya Walter L.
Wallace cetakan kedua, 1994, yang diterbitkan oleh penerbit Bumi Aksara
Jakarta, dengan penerjemah Yayasan Solidaritas Gama, termasuk buku yang cukup
lengkap dalam membahas metode penelitian jenis kuantitatif untuk ilmu-ilmu
sosial terdiri atas 127 halaman dan 7 bab.
Tujuh pokok bahasan itu antara lain: (1) pendahuluan yang membahas (ilmu pengetahuan dan tiga unsur
penelitian; tinjauan ulang proses ilmiah dan ilustrasi kasus bunuh diri
Durkheim); (2) pengamatan; pengukuran; ringkasan sampel; dan estimasi parameter
serta generalisasi empiris (pembentukan konsep; pembentukan proposisi,
penyusunan proposisi; teori); (3) teori
deduksi logis; hipotesa; (4) penjabaran; instrumentasi; pembentukan
skala dan penentuan sampel; (5) pengujian hipotesa; teori dan kesimpulan; (6) pengujian hipotesis; teori dan (7) kesimpulan.
Bab pertama,
pendahuluan mengupas mengenai tata cara untuk menguji dan menghasilkan
pernyataan empiris terdiri dari empat cara yaitu: (1) otoriter, yakni cara
menguji kebenaran sebuah pernyataan empiris oleh masyarakat yang dianggap
memiliki kemampuasn yang berbeda seperti raja, kyai, pemangku adat; presiden;
professor dan sebagainya; (2) mistik yaitu teknik menguji kebenaran yang
dikaitkan dengan halunisasi alam bawah sadar manusia (ada yang mengkaitkan
dengan cara otoriter) seperti meminta petunjuk dari dewa; raja; kyai dan
sebagainya; (3) logika-rasional, merupakan cara menguji kebenaran yang
didapatkan dari prosedur dan kaidah serta logikan formal dan masuk akal dan (4)
ilmiah ialah cara memperoleh kebenaran apabila dua atau lebih item informasi
yang saling bersaing seperti pengamatan, generalisasi faktual dan teori.
Menurut Wallace, cara yang ke-4 adalah cara yang objektif untuk menguji
kebenaran sehingga memperoleh kebenaran dengan menghilangkan sudut pandang
subjetif pada pribadi individu imuwan tersebut.
Pokok bahasan mengenai tinjauan
ulang unsure-unsur dalam proses ilmiah, mengutip pendapat C. Wright Mills dalam
mengkritik korelasi yang kaku antara metode penelitian dengan hiptesis, hasil
pengamatan di lapangan dan generalisasi hasil. Terdapat perbedaan yang mendasar
antara jenis penelitian eksplorasi dan pengujian hipotesis. Jenis
penelitian eksplanatoris lebih menekankan pada aspek metodelogis, hipotesis dan teoritis yang benar-benar baru,
masih belum formal dan menjadi satu kesatuan. Sedangkan penelitian yang
membuktikan sebuah hipotesis sudah berwujud baku, lebih rinci dan memadai dalam
memenuhi unsure-unsur proses ilmiah.
Bab kedua, penulis
membahas pengamatan; pengukuran; ringkasan sampel; dan estimasi parameter. Penulis mengawali pro dan kontra berkaitan proses
ilmiah. Sebagian orang beropini bahwa pengamatan merupakan wasit utama dalam seluruh proses
ilmiah. Sebagian yang lain berpandangan pengamatan bukan satu-satunya langsung ada dalam proses ilmiah, namun
pengamatan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan generalisasi faktual,
teoritis dan hipotesis. Secara umum, pengamatan bergantung dari unsur-unsur
proses ilmiah, seperti unsur sebelumnya (hipotesis) dan unsur metodologis
sebagai unsur kontrol. Dalam penerapannya bisa saja berbeda sama sekali antara
satu dengan yang lain. Langkah selanjutnya adalah pengukuran, yakni proses
melihat atau mengamati objek dengan mengaktulisasi dalam bentuk symbol abstrak
seperti kata-kata, angka, warna, berat dan lain-lain. Dengan jenis simpol yang
sesuai yang bisa mendeskripsikan hasil pengamatan di lapangan dalam wujud
pengukuran yang cenderung dimanipulasi oleh peneliti.
Sub pembahasan
ringkasan sampel, penulis banyak menyorot diskursus pemberian nilai skala pada
hasil pengukuran pada objek di lapangan, padahal pemberian skor penilaian
sesungguhnya tidak bisa dengan tepat memaparkan persepsi yang diberikan.
Seperti menilai level kepuasan masyarakat, hanya memberikan gambaran yang
mendekati saja. Proses generalisasi tidak bisa meninggalkan pembahasan ini.
Proses generalisasi yang tak kalah penting adalah penentuan estimasi parameter,
yaitu melakukan transformasi pengamatan untuk menggenaralisasi hasil pada kasus
yang sama untuk objek yang berbeda.
Generalisasi empiris adalah sebuah proposisi yang menonjolkan
karakteristik yang sama pada sebuah fenomena yang terjadi pada masyarakat,
sehingga diharapkan bisa diterapkan pada waktu dan tempat yang berbeda apabila
terdapat kesamaan variabel.
Bab ke-empat,
memaparkan tentang teori. Penulis membedakan istilah “prediksi” dan “hipotesa”. Prediksi merupakan peristiwa
yang hampir pasti bisa diamati namun belum terjadi. Sedangkan hipotesa adalah
pengamatan yang belum dilaksanakan kapan waktunya, dan lebih sesuai dengan
istilah sosiologi. Kebenaran sebuah teori bisa dibuktikan melalui pengujian
hipotesa. Hipotesa tingkat tinggi ialah alasan ilmiah yang diyakini
kebenarannya berasal dari fakta tentang hipotesa tingkat rendah yang dibenarkan oleh pengalaman. Jadi
hipotesa yang disimpulkan secara teoritis
dan tidak mengarah pada penjabaran, diperlukan instrument penjelasa dan
prediksi yang menghubungkan dengan bahan-bahan yang akan diamati seperti skala,
sampel yang ditentukan.
Bab ke-lima, membahas
mengenai pengujian hipotesa, apakah diterima atau ditolak. Langkah yang dilakukan untuk menerima hipotesa
terkait dengan membandingkan hasil temuan dengan hipotesa sudah memuaskan atau
kecocokan atau kekurang cocokan hipotesa menjadi langkah konfirmasi.
Bab ke-enam adalah
teori. Penulis menguraikan fungsi teori ada dua, yaitu: penjelas atas fenomena
yang sudah terjadi dan sebagai prediksi atas generalisasi empiris yang akan
datang, walaupun belum dilakukan. Teori secara umum ada dua jenis, yaitu teori
deduktif/hirarkhis dan induktif. Teori
induktif adalah teori yang diawali dengan fakta-fakta yang akan membentuk
proposisi. Sedangkan teori deduktif adalah teori yang dimulai dengan teori atau
proposisi yang mendukung peristiwa. Bagi
pengembangan ilmu sosiologi yang diambil adalah jalan tengah-tengah diantara
teori deduktif dan induktif.
Bagian penutup, ditulis
bahwa proses ilmiah adalah sarana untuk menguji dan memperoleh hasil sebuah
kebenaran mengenai pengalaman manusia. Pernyataan ilmiah bersifat tentative,
karena dituntut objektivitas dalam rangka menjawab keingintahuan dan
kegelisahan yang kritis untuk memperoleh kebenaran tersebut.
Menurut Saya kekurangan
buku ini adalah cover yang kurang menarik, penggunaan bahasa yang bisa
dipahami, untuk membacanya harus berulang-ulang agar bisa paham. Contoh yang kurang aplikatif untuk masing-masing bab
ataupun sub bab yang dibahas. Kelebihannya, buku ini mencoba menampilkan atau
mendeskripsikan alur metode penelitian bergenre kuantitatif untuk khas dan unik
ilmu-ilmu sosial, khususnya disiplin ilmu sosiologi.
Wallahu’alam bis
showwab.
[1]Tulisan ini adalah
Karya Walter L. Wallace dalam buku The Logic Of Science In Sociology yang diterjemahkan oleh Yayasan
Solidaritas Gama dengan Koordinator Lailil Kadar.
[2] Artikel ini ditulis oleh Rokhmat
Subagiyo, NIM: F53318020
mahasiswa Program Doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya
Program Studi Ekonomi Syariah dan artikel ini merupakan tugas Mata
Kuliah: Metodologi Studi Islam dengan Dosen
Pengampu: Prof. Dr. H. Nur Syams, M. Si.
Komentar
Posting Komentar